Oleh: Kris Banarto, MM, CPM
Belanja secara online tampaknya menjadi kebiasaan baru masyarakat Indonesia, apalagi ditengah-tengah situasi pandemi yang membatasi pergerakan masyarakat. Belanja online menjadi alternatif yang menarik selain harga lebih murah juga lebih praktis karena tidak harus keluar rumah.
Menurut data dari Bank Indonesia (BI) terjadi pertumbuhan transaksi e-commerce secara signifikan yaitu sebesar 63,4 persen menjadi Rp186 triliun. Bahkan BI memprediksi hingga akhir tahun 2021 transaksi e-commerce akan meningkat 48,4 persen menjadi Rp395 triliun. (Kontan.co.id, 23 Juli 2021).
Baca Juga: Hipotesis Pengembangan Lahan Melalui SWOT Analysis
Berdasarkan data dari Similarweb periode Januari hingga Juni 2021 mencatat e-commerce Tokopedia menjadi platform yang paling banyak dikunjungi konsumen dalam negeri yaitu sebanyak 126,4 juta kali setiap bulannya. Shopee sebanyak 117 juta, disusul Bukalapak yang baru saja melakukan IPO dikunjungi 31,27 juta, disusul dengan Lazada (28,2 juta) dan Blibli (18,52 juta).
Sementara itu pasar e-commerce masih terbuka untuk di kembangkan, tahun 2015 transaksi secara online baru sekitar 1,2% dari total penjualan ritel domestik, atau sebesar US $ 1,6 miliar dari total penjualan ritel US $ 145,83 miliar
E-Commerce Global
Peningkatan transaksi e-commerce di dalam negeri menjadi cerminan secara global. Transaksi e-commerce global menunjukkan perkembangan cukup pesat yaitu sebesar 230 persen dibandingkan tahun 2014. Total transaksi global sebesar US $ 4,48 triliun (setara Rp60.467 triliun).
Rupa-rupanya belanja secara online merupakan aktivitas yang cukup populer di seluruh dunia, khususnya kalangan anak-anak muda. Transaksi melalui online diyakini cukup praktis, mendapatkan harga murah dan mudah untuk mendapatkan barang dari luar negeri sekalipun.
Pengertian O2O
Berdasarkan Weng dan Zhang (2015) model bisnis O2O atau online to offline, di definisikan sebagai salah satu model e-commerce atau perdagangan elektronik berbasis online dengan antar aktivitas yang efektif. Model bisnis O2O merupakan integrasi yang efisien antara online dan offline yang mendapatkan respons masyarakat di era digital.
Baca Juga: Mengenal Decide Model Dalam 3 Tipe Marketing Research
O2O pertama kali muncul di China seiring dengan pesatnya penetrasi internet yang berdampak pada meningkatnya transaksi e-commerce. Pada 2013 total belanja online di negeri tirai bambu itu mencapai US $ 307 miliar dan terus bertumbuh dari tahun ke tahun.
Berawal dari pemikiran adanya gap antara digital dan fisik menyebabkan para pelaku e-commerce di China mencari model baru yang dapat membuat integrasi antara online dan offline. Lantas dari pemikiran itu ditemukan model O2O yang dapat mengintegrasikan antara online atau digital dan offline atau toko fisik (Light & Birthwhistle, 2015)
Implementasi O2O
Dalam implementasinya model bisnis O2O tidak saja online to offline, namun dapat juga dilakukan sebaliknya yaitu offline to online. Selama bisnis dilakukan dengan cara mengintegrasikan antara online dan offline maka model bisnis tersebut termasuk kategori O2O.
Menjadi poin tersendiri ketika perusahaan telah membangun bisnis cukup lama sehingga brand sudah di kenal masyarakat baik yang berbasis online maupun online, sehingga tinggal mengintegrasikan dua platform tersebut yaitu online dan offline.
Model Online to Offline
Model bisnis online to offline yang perlu dilakukan perusahaan adalah membangun platform e-commerce terlebih dahulu. Promosi dan penjualan dilakukan secara online. Kemudian perusahaan membuka toko secara fisik yang akan berfungsi sebagai display produk, pengambilan barang dan pelayanan kepada pelanggan.
Perusahaan e-commerce dari China, Alibaba telah melakukan model bisnis ini tahun 2014 dengan menginvestasikan dana kurang lebih RMB 4.3 milyar kepada perusahaan Intime Retail Group. Bahkan tahun 2017 mengakuisisi perusahaan jaringan ritel terbesar di China tersebut senilai US $ 2,6 miliar.
Model Offline to Online
Model bisnis offline to oline yang dilakukan perusahaan pertama kali adalah mendirikan toko secara fisik, melakukan promosi, penjualan dan pelayanan kepada para pelanggan secara tatap muka. Berjalannya waktu maka perusahaan membangun e-commerce, yang akan mendukung dalam promosi dan penjualan.
Matahari Department Store yang memiliki 148 gerai dan tersebar di 76 kota di seluruh Indonesia, mendirikan situs perdagangan elektronik tahun 2015 dengan nama MatahariMall.com dan tahun 2018 e-commerce tersebut dilebur ke dalam platform Matahari.com.
Baca Juga: Wow, Kendaraan Listrik Tanpa Awak Siap Melintas di BSD City
***
Pandemi Covid-19 selama satu tahun lebih dan era digital telah mendorong perusahaan untuk cepat membangun platform e-commerce yang transparan, mudah di gunakan dan pengiriman barang yang cepat.
Namun di sisi lain pelanggan juga membutuhkan bukti fisik (psysical evidence) suatu barang, yang harus dijawab oleh perusahaan dengan mendirikan toko atau merchant yang representatif. Toko tersebut dapat berfungsi untuk display barang, pelayanan purnajual dan pengiriman barang.
Di beberapa perusahaan e-commerce masih ditemui pengaduan konsumen yang hanya dilayani oleh mesin, sehingga kerap kali pelanggan tidak mendapatkan kepuasan dalam pelayanan, sebaiknya perusahaan menempatkan para tenaga customer service yang andal. Atau bisa juga pelayanan pelanggan dilakukan di toko fisik.
Model bisnis O2O akan menjadi alternatif bisnis yang prospektif di tengah tatanan budaya new normal pasca pandemi. Masyarakat semakin terbiasa untuk berbelanja secara online dengan dukungan internet dan gawai pintar sebagai media bertransaksi.
Baca Juga: Kota Kertabumi Karawang Rilis Dua Tipe Rumah Contoh
Siapa pun yang terjun pada bisnis ritel dan memasarkan produknya secara online dan di integrasikan ke offline harus menyiapkan para SDM yang profesional tidak saja di dunia nyata namun juga di dunia maya dan didukung teknologi yang canggih.
Kris Banarto, MM, CPM, adalah Praktisi Bisnis Properti dan Blogger