Apakah pasar properti hunian di tanah air kita benar-benar tiarap saat ini demi menunggu kondisi ekonomi global ataupun nasional benar-benar aman-terkendali? Itu memang pertanyaan menggelitik yang menggelayuti pemangku kepentingan industri properti.

Betapa tidak, belakangan ini, nilai tukar Rupiah ke USD terpangkas. Defisit neraca perdagangan terjadi, dan proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini mungkin tidak sepenuhnya tercapai. Yang bisa dikatakan menggembirakan, tingkat inflasi masih sesuai sasaran pemerintah Indonesia.

Baca Juga: Pasar Properti, dari Tumbuh Semu ke Tumbuh Riil

Tatkala berhadapan dengan kecukupanseram indikator makro seperti itu, kita bisa saja lantas membenarkan bahwa industri properti memang tengah tiarap; termasuk di situ adalah pasar properti hunian.

Tetapi, marilah kini kita meneliti indikator lain terkait pasar properti hunian. Antara lain ke data dari Bank Indonesia.

Sejatinya, berdasarkan Survei Perbankan yang terbaru, terlihat bahwa pasar properti hunian masih bergerak. Contohnya, per akhir Desember 2017, SBT (saldo bersih tertimbang) untuk KPR/KPA perbankan, mencapai 60%-an atau tertinggi dibandingkan kredit konsumsi jenis yang lain. Pergerakan KPR/KPA juga masih terasa, di kuartal pertama dan kedua 2018.

Lebih lanjut, pihak Bank Indonesia memprediksi bahwa pelonggaran ketentuan LTV (loan to value) kredit pemilikan properti yang efektif per 1 Agustus 2018, mendorong perbankan dalam menyalurkan kredit tersebut.

Untuk lebih jelasnya, bisa dilihat di sini: https://www.bi.go.id/id/publikasi/survei/perbankan/Default.aspx

Cukup jelas bahwa ada pergerakan pasar properti hunian, bukan? Survei dari Kebun Sirih itu tentu bisa jadi acuan. Pasalnya, mayoritas pembeli hunian baru, menggunakan kredit perbankan; maka pergerakan pasar properti hunian bisa dideteksi dari survei itu.

Investor Perorangan

Sebenarnya, ada satu kelompok konsumen yang masih tiarap untuk saat ini. Peran mereka, padahal, besar untuk bergeraknya pasar properti hunian.

Siapakah? Jawabnya, para investor perorangan. Mereka inilah yang menjadi langganan setia bagi sebagian developer properti ataupun sebagian pialang properti. Adalah para investor ini yang rajin menjadikan properti hunian sebagai instrumen melipatgandakan nilai uang; bagi mereka, memiliki unit apartemen lebih dari satu bukanlah hal yang baru.

Baca Juga: Investasi Apartemen Lebih Untung, Ini Alasannya

Kini, memang pasar properti hunian segmen menengah ke atas, sedang jenuh. Walhasil, kelompok tersebut cenderung mengerem aktivitas membeli properti hunian. Ketika yield sewa dari properti hunian tengah tidak apik—di bawah 10% atau malah tidak ada—kelompok tersebut cenderung mengerem langkah investasi.

Pun, di saat capital gain dari unit properti hunian primer sulit dipetik dalam waktu relatif singkat, kelompok itu semakin berpikir dua kali sebelum menjadikan properti itu sebagai peranti investasi. Apakah mereka lalu cenderung menahan dana di perbankan? Sulit menjawab dengan pasti, tetapi yang jelas kini kita mendapati bahwa jumlah rekening ataupun DPK (dana pihak ketiga) perbankan dalam tren naik, bukan?

Pada prinsipnya, dalam situasi pasar properti hunian menengah ke atas cenderung jenuh dan perekonomian global ataupun nasional belum sepenuhnya lepas dari turbulensi, seperti apa gerakan ideal kelompok investor itu? Sejatinya, kinilah waktu untuk lebih berpikir dalam kerangka investasi jangka panjang. Dengan kata lain, ada baiknya mereka berpindah dari peran sebagai “trader jangka pendek”, ke ranah baru ini: ” the real property investment“.

Dalam hal ini, investasi properti hunian dilakukan dalam jangka lebih panjang. Jadi, bukan semata menargetkan capital gain ataupun yield sewa dalam jangka pendek. Seidealnya, investasi tidak lagi digelar dalam skema jangka pendek, seperti membeli properti di masa prakonstruksi—masih dibanderol di harga dasar—-untuk lalu dijual selekasnya tidak beberapa lama ketika konstruksi selesai. Tetapi, investasi seyogianya digelar dalam jangka waktu lebih panjang, disertai kalkulasi matang bahwa di tahun-tahun awal masih menjadi “perdarahan laporan keuangan”.

Baca Juga: Kredit Kavling, Bagusnya Siapa Punya?

Ingatlah bahwa, sejatinya, semahal-mahalnya harga properti hunian di Indonesia, masih lebih rendah daripada di sejumlah negara lain. Maka, pada prinsipnya, investasi properti hunian di Indonesia menarik untuk jangka panjang. Sebab, masih ada titik interval lebar antara pergerakan harga terkini dengan harga puncak.

Dengan berpikir seperti itu, kelompok investor tersebut punya peran lain yang lebih besar. Yakni, lebih menumbuhkan pasar properti hunian atau juga perekonomian nasional. Di sini, kita perlu mengingat bahwa sektor properti punya efek berantai kepada 170-an industri terkait. Walhasil, tatkala kelompok investor itu kembali masuk ke pasar, mereka berperan menggerakkan 170-an industri itu. Dan otomatis, mereka berperan lebih menumbuhkan PDB (produk domestik bruto) di kondisi seperti sekarang ini. Maka, investor perorangan, mari bergerak lagi!