Oleh: Kris Banarto, MM, CPM

Jika perusahaan memiliki aset tanah kosong yang cukup luas, dan kamu ditunjuk oleh bos untuk memberikan masukan harus dibuat apa tanah tersebut, apakah yang kamu lakukan?

Langkah pertama yang umumnya dilakukan adalah melakukan survei dan melihat dari dekat lokasi tanah dan bagaimana keadaan sekitarnya. Lalu kamu akan berpikir, “sebaiknya untuk apa ya tanah ini?”

Baca Juga: Implementasi Strategi Branding Melalui Customer Experience Matrix

Sampai di situ mungkin kamu pegang jidat dan bingung akan melakukan apa atau minimal memberikan laporan kepada bos.

“Hem… bos tanah itu cocoknya dibangun ruko”.

Lalu bos akan menjawab, “Kamu yakin membangun ruko bisa laku? Berapa lama ruko dapat habis terjual.” Lagi-lagi kamu dibikin kelabakan sama bos!

Penjelasan berikut ini setidaknya dapat menjadi acuan supaya kamu tidak mati gaya di hadapan bos.

Ada 3 langkah yang harus dilewati dalam menganalisis suatu aset tanah kosong atau bisa juga sebagai pertimbangan membeli tanah yang baru.

Tiga langkah tersebut adalah Highest and Best Use yang merupakan langkah awal dalam menganalisis atau menilai tanah.

Baca Juga: BRI Beri Suku Bunga Spesial 5,99 Persen di Modernland Cilejit

Jika Highest and Use oke, maka diteruskan dengan market research yang bertujuan untuk menganalisis pasar apakah proyek yang akan dibangun benar-benar dapat diserap pasar.

Kemudian langkah yang ketiga atau langkah terakhir adalah feasibility study atau studi kelayakan proyek, apakah proyek benar-benar layak? Apakah kita memiliki sumber daya yang memadai? Apakah proyek itu dapat menjanjikan keuntungan maksimal?

Artikel ini akan mempelajari pendekatan Highest and Best Use atas tanah atau properti yang menghasilkan nilai tertinggi dan yang terbaik penggunaannya.

Analisis HBU penting agar lahan optimal
Analisis HBU penting agar lahan optimal. (Sumber: Dpu.kulonprogokab.go.id)

Highest and Best Use (HBU)

Menurut The Appraisal Institute dalam rilis yang berjudul “The Appraisal of Real Estate” edisi 13, pengertian Highest and Best Use atau biasa disingkat HBU adalah penggunaan lahan kosong atau properti yang lebih baik yang memungkinkan secara fisik, didukung dengan tepat, dan layak secara finansial dan yang menghasilkan nilai tertinggi secara wajar dan sah menurut hukum.

Di dalam HBU perlu menetapkan The Four Tests, yaitu serangkaian dalam menguji lahan atau properti yang terdiri dari 4 faktor yang harus dipertimbangkan oleh penilai ketika menentukan penggunaan properti yang tertinggi dan terbaik.

Baca Juga: Teratai Grand Village Canggu Bali Resmi Diluncurkan, Terjual 85%

Sebuah lahan atau properti dikatakan memenuhi HBU, jika secara fisik memungkinkan untuk dikembangkan, secara peraturan diizinkan, memadai secara finansial, dan dapat memberikan hasil yang maksimal.

Berikut 4 faktor pertimbangan HBU

4 faktor HBU
4 faktor HBU. (Sumber: Solusiconsult.com)

Pertama, Legally Permissible.

Penilaian berdasarkan peraturan dengan cara menganalisis kelayakan suatu tanah berdasarkan peraturan pemerintah setempat (dinas tata kota), meskipun secara garis besar sama.

Namun masing-masing pemerintahan daerah memberlakukan peraturan berbeda. Hal ini penting untuk menghitung lahan efektif yang dapat di jual, misalnya:

Jenis peruntukan lahan yang ditetapkan dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang ditentukan oleh pemerintahan daerah masing-masing. Misalnya zona hijau adalah lahan produktif untuk pertanian, tidak diperbolehkan untuk dibangun perumahan dan lahan kuning untuk peruntukan perumahan.

KLB (Koefisien Luas Bangunan), adalah menghitung berupa luas bangunan yang diperbolehkan dibandingkan dengan luas tanah. Misalnya luas tanah 100 m2 dan KLB adalah 1.5x, maka maksimal bangunan yang boleh dibangun dari lantai dasar hingga atas adalah 100 x 1.5 = 150 m2.

KDB (Koefisien Dasar Bangunan), adalah total luas lantai dasar yang dapat dibangun dibandingkan dengan luas tanah yang ada. Jika luas tanah 100 m2 dan KDB 50% maka bangunan lantai bawah maksimal dibangun dengan luas 50 m2.

Baca Juga: Blue Ocean Strategy, Solusi Bisnis yang Kompetitif

GSB (Garis Sepadan Bangunan) adalah jarak antara pinggir jalan dengan bangunan bagian depan. Umumnya GSB adalah setengah dari lebar jalan. Misalnya lebar jalan 8 m, maka bangunan depan yang dapat dibangun berjarak minimal 4 meter dari batas tanah depan.

Kedua, Physically Possible.

Menganalisis kelayakan secara fisik, apakah tanah layak untuk dikembangkan. Misalnya dengan melihat topografi tanah, apakah datar, berkontur dan miring?

Tanah yang berkontur terlalu ekstrem atau dengan kemiringan tertentu akan membutuhkan biaya cut and field yang tinggi.

Juga perlu dilihat aliran air dari hulu ke hilir, jangan sampai lahan menemui kendala untuk membuang air yang berisiko terjadi genangan atau banjir.

Daya dukung fasilitas lingkungan lokasi apakah tersedia fasilitas kesehatan, sekolah, tempat ibadah, tempat pembelanjaan dan lain-lain.

Kemudian aksesibilitas jalan, moda transportasi yang mendukung misalnya angkutan umum dalam kota dan luar kota serta kereta api.

Ketiga, Financially Feasible.

Analisis kelayakan keuangan dikaitkan dengan apakah properti yang akan dikembangkan mempunyai prospek yang bagus.

Menghitung berapa besar modal yang akan diserap dalam proyek yang akan dijalankan dan seberapa besar potensi keuntungan.

Pada bagian ini dapat dilakukan dengan melihat properti yang sudah ada di sekitar lokasi, berapa tingkat penjualan.

Berapa banyak pesaing dan bagaimana market share, untuk dapat menentukan potensi volume penjualan.

Baca Juga: Jangan Ditunda! Buruan Serbu KPR BCA OnlinExpo, Ratusan Proyek Tawarkan Promo Menarik

Keempat, Maximally Productive.

Ini merupakan analisis terakhir, yaitu seberapa besar produktivitas lahan, dengan kata lain jika ada beberapa alternatif maka dapat memutuskan produktivitas yang maksimal. Dapat diukur dengan seberapa besar profit dan revenue yang akan dihasilkan.

Dengan memperhitungkan beberapa hal antara lain proyeksi arus kas masuk dan keluar atau Net Present Value (NPV), perkiraan laba yang akan diperoleh dari proyek yang akan dikembangkan.

Kemudian seberapa besar tingkat efisiensi dalam investasi, berapa laju pengembalian atau Internal Rate of Return (IRR) dan tingkat pengembalian investasi atau Return on Investment (ROI).

HBU merupakan penilaian awal dalam suatu proyek yang akan dikembangkan. Jika hasil HBU menyimpulkan lahan tidak prospektif, maka proses penilaian berhenti pada tahapan ini dan tidak perlu ada market research dan feasibility study.

Baca Juga: Ciputra Festival 4.0 Ramaikan HUT ke-40 Tahun Ciputra dengan Beragam Promo

Apabila informasi awal sudah salah maka kemungkinan langkah selanjutnya menjadi tidak akurat. Sebaiknya perusahaan membentuk tim feasibility study yang melibatkan karyawan ahli dibidang pemasaran, teknik, keuangan dan legal atau dapat juga menggunakan jasa konsultan. [RujukanJosh Panknin. “Highest and Best Use”. Altusgroup.com. November 2020; www.djkn.kemenkeu.go.id]

Kris Banarto, MM, CPM, adalah Praktisi Bisnis Properti dan Blogger