Sudah lazim bahwa, di Indonesia, kita melihat adanya masyarakat yang sangat leluasa mendapatkan pemilikan hunian. Pun, ada masyarakat yang “setengah leluasa”, yakni harus dibantu negara agar bisa membeli hunian. Pun, ada kelompok masyarakat yang sekadar mendapatkan tempat tinggal yang layak, sangat sukar; negara pun, di sela keterbatasan anggaran, mencoba tidak lepas tangan terhadap kelompok ini.
Dengan varian seperti itu, sektor perumahan rakyat Indonesia, sejatinya berdiri di kutub ideologi seperti apa? Hal inilah yang, akhir-akhir ini menjadi pertanyaan menggelitik di pikiran penulis kolom ini.
Baca Juga: Benar kan! Rumah DP 0 Hanya “Retorika”, Bukan untuk Rakyat Miskin
Sekilas, terlihat adanya sistem dualistik di keseluruhan sektor perumahan Indonesia. Pertama, ada mekanisme pasar bebas untuk perumahan komersial. Di sini, harga jual, pergerakan pasar, dan lain-lain, murni dibentuk oleh pasar. Harga hunian komersial bisa bergerak naik semaksimal mungkin, asal saja bisa diterima oleh konsumen.
Kedua, mekanisme campuran antara pasar bebas dengan intervensi negara, dalam perumahan subsidi. Dalam hal ini, ada kecenderungan bahwa negara sangat dominan dalam pasar perumahan subsidi dengan campur tangan fiskal (lewat berbagai subsidi) sekaligus membiarkan pergerakan pasar bebas, secara terbatas.
Menjadi menarik untuk mengembangkan pertanyaan berikutnya. Yakni, dalam dua kutub ideologi besar dunia, di mana posisi sektor perumahan rakyat Indonesia? Dan lalu sebaiknya mengambil lintasan yang mana?
Dalam hal ini, ada baiknya kita mencoba meneropong dengan skala yang lebih luas.
Baca Juga: Asmat Amin: Katanya Urus Izin 20 Hari, Faktanya 200 Hari
Dua Mitos
Jauh hari, mahaguru sosiologi Peter Berger sudah mengutarakan pentingnya menguliti “mitos” yang disembunyikan oleh dua ideologi besar dunia, yakni kapitalisme dan sosialisme. Secara ringkas, dapat kita katakan bahwa Berger menyimpulkan dua jenis mitos itu.
Pertama, ideologi kapitalisme bersembunyi di balik mitos “pertumbuhan”. Hasilnya adalah ketimpangan sosial-ekonomi yang dahsyat di banyak tempat.
Kedua, ideologi sosialisme menampilkan mitos “persamaan”. Hasilnya adalah teror luar biasa dari negara kepada masyarakat; itu sudah tentu bertolak belakang dari spirit ” persamaan” tersebut.
Baca Juga: Pemangkas Rambut Garut Terima Rumah Subsidi Pemerintah
Dari aspek ekonomi dan politik, kita sudah melihat bahwa sejatinya ideologi sosialisme sudah bangkrut. Mitos “persamaan” ekonomi-sosial, tidak mampu diwujudkan.
Adapun ideologi kapitalisme yang punya banyak varian dan perkembangan, masih berdiri. Akan tetapi, menurut pandangan penulis kolom ini, ideologi itu tidak mampu menyelesaikan sejumlah sejumlah pekerjaan rumah mahabesar: ketimpangan ekonomi, alineasi sosial, dan lain-lain.
Adalah menarik untuk meneropong suatu jalan alternatif yang disuguhkan Anthony Giddens, seorang ahli sosiologi dari Inggris: The Third Way. Lantas meletakkan jalan alternatif tersebut dalam ranah sektor perumahan rakyat di Indonesia. Sudah tentu, kita pun akan mencoba menghubungkan semua itu dengan spirit kesepakatan bangsa yang dipondasikan oleh para pendiri bangsa ini, bukan?
Baca Juga: Di Mana Posisi Bank Tanah Rumah Subsidi?
Dalam tulisan berikutnya, kita akan mencoba meneruskan meneropong semua hal itu.
One Comment
Mencari "Ideologi Perumahan RI" (Bagian 2) | Properti Terkini
[…] Baca Juga: Menelusuri “Ideologi Perumahan RI” (Bagian Pertama) […]