Beberapa tahun belakangan pasca-tahun 2014, pemangku kepentingan properti diherankan oleh tren penurunan ataupun perlambatan pasar properti.

Memang, dalam hal ini, yang terjadi bukanlah suatu crash ataupun koreksi tajam, melainkan suatu perlambatan. Akan tetapi, tetap saja perlambatan itu tidak diinginkan. Betapa tidak, setelah mereguk pertumbuhan tajam, tentu sektor properti menginginkan kesinambungan hal seperti itu, bukan?

Baca Juga:

Di titik ini, kita pun bertanya: sebenarnya, apa penyebab perlambatan tersebut? Ada baiknya kita telaah untuk sejenak.

Lanskapnya Berubah

Dalam sebuah model “jam properti” yang sangat dikenal oleh pemangku kepentingan sektor tersebut, perlambatan yang sekarang terjadi tiada mengherankan. Ya, benar, ada satu fase di mana setelah ada di titik kulminasi pertumbuhan, pasar properti bergerak turun.

Ini akibat pasokan properti yang sudah tumbuh terlalu banyak melebihi permintaan. Dalam hal ini, pasokan properti lebih banyak daripada permintaan, sehingga kenaikan harga melambat.

Konsultan properti dari Colliers International Indonesia, Ferry Salanto, memerkirakan bahwa pertumbuhan harga jual properti primer lansiran pengembang emiten bursa saham, kini rendah. Rincinya, hanya 4% sampai 5% per tahun.

Jadi, benar bahwa dalam sebuah “jam properti”, kita tengah menurun dari posisi “jam 12” sebagai titik kulminasi, ke titik turun yaitu “jam 1″, ” jam 2″, dan seterusnya. Setelah sampai ke titik rendah, pasar properti akan bergerak naik lagi, dan akhirnya bergerak menanjak menuju titik kulminasi.

Akan tetapi, menurut perkiraan penulis, ada aspek lain di luar pola “jam properti” tersebut. Apakah? Yakni tengah berubahnya lanskap pasar properti kita dari “pasar semu” ke “pasar riil”.

Bagaimana penjelasan hal tersebut? Mari kita tinjau barang sejenak.

Yang dimaksud ” pasar semu” dalam hal ini adalah pasar yang lebih digerakkan oleh motif investasi, bukan oleh kebutuhan. Kalau kita cermati, memang yang menjadi generator utama pertumbuhan pasar properti sebelum tahun 2015, adalah kalangan investor properti.

Sering, ada individu yang membeli sekaligus beberapa unit properti apartemen, di sebuah proyek baru. Bahkan ada yang memborong satu menara apartemen untuk dimiliki.

Konsultan properti Budi Santoso bahkan pernah memerkirakan bahwa porsi investor, melebihi 50% dari total konsumen properti. Adapun pengamat lainnya, Ignatius Untung, pernah mengkritisi pola pergerakan broker properti yang lebih fokus ke kalangan investor pemborong unit properti. Sementara, sejatinya, segmen garapan lain masih lebar.

Ini menunjukkan ke kita tentang dominasi kalangan investor, bukan?

Satu ketika, pasar properti yang digerakkan para investor ini ada di titik jenuh. Stagnasi pun terjadi; hal ini berbarengan dengan masa di mana “jam properti” ada di “jam 12″.

Di sisi lain, “pasar riil” masih cenderung dinomorduakan. Termasuk di situ adalah properti hunian subsidi.

Di saat titik jenuh itu terjadi, muncullah regulasi yang—mungkin tidak disadari—berperan menggeser pasar properti dari “pasar semu” menjadi “pasar riil”. Itu adalah, pertama, ketentuan baru batasan LTV (loan to value) dari Bank Indonesia, yang bertujuan mengerem potensi gelembung (bubble) properti.

Ketentuan dari pihak Kebun Sirih ini mengerem kiprah kalangan investor yang sering menggunakan kredit bank dalam berinvestasi properti.

Adapun regulasi yang kedua, adalah regulasi terkait Program Sejuta Rumah; termasuk di situ adalah rangkaian deregulasi dan debirokratisasi perizinan hunian subsidi.

Pasca-dua regulasi itu, pergerakan pasar properti mendapatkan generator besar baru, yakni pasar hunian menengah ke bawah. Penjualan lebih tertuju ke konsumen akhir (end user), bukan ke investor. Hunian subsidi terjual tuntas sementara sejatinya permintaan lebih besar. Di sisi bersamaan, pengembang lebih banyak membangun properti hunian menengah; koreksi harga pun sering dilakukan dengan saksama atau bahkan tersembunyi demi larisnya produk.

Walhasil, pergeseran pasar properti terjadi dari “pasar semu” yang didominasi kalangan investor, ke “pasar riil” yang dipenuhi konsumen akhir. Pergeseran ini sudah terjadi, dan menimbulkan kesan adanya pertumbuhan harga yang lebih konservatif.

Ini memang sangat tepat. Akan tetapi, jangan lupa bahwa pasar yang digerakan oleh motif “kebutuhan” ini—bukan “motif investasi”—lebih sehat secara jangka panjang. Pasalnya, potensi gelembung pasar properti ataupun crash, lebih minim.

Akhir kata, marilah berharap agar pasar properti memang sedang bertransformasi ke “pasar riil”, dan semakin bermanfaat bagus bagi tanah air ini. Salam properti!