Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan kembali menyegel bangunan di Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta. Tindakan Anies ini terbilang tidak cerdas dan salah langkah.

Anies mungkin tidak melakukan research lebih mendalam soal dampak ekonomis terhadap bangunan di pulau reklamasi itu. Menurut Anies, penyegelan ini untuk memastikan semua pihak, baik ekonomi lemah maupun kuat akan ditindak bila melanggar.

Baca Juga:

Pemprov DKI tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan. Namun, Anies tidak menjelaskan secara rinci peraturan apa yang telah dilanggar oleh bangunan di Pulau D Reklamasi itu. Apakah pelanggaran terkait dengan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)? Jika memang demikian, berarti ini bukanlah yang pertama kali dilakukan gubernur Anies.

Sebab dengan alasan yang sama, pada 2014 dan 2016 lalu, pihak Pemprov DKI sudah pernah menyegel bangunan di pulau reklamasi tersebut. Jadi bukan Anies yang pertama.

Jauh hari sebelum Anies menjadi Gubernur Jakarta, salah satu pengembang reklamasi Teluk Jakarta menyebutkan bahwa proyek reklamasi Teluk Jakarta justru menghasilkan pendapatan asli daerah (PAD) berlimpah bagi Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Terlebih lagi, proyek reklamasi itu memang sudah sesuai prosedur.

Menurut Pengembang itu, pembangunan pulau dan segala macam isinya membutuhkan tak hanya satu industri tertentu. Berbagai industri, terutama bahan bangunan turut andil membangun pulau serta menyerap ribuan tenaga kerja.

Bahkan, ketika kampanye Pilgub Jakarta beberapa waktu lalu, Ahok sempat menggelengkan kepala, ketika Anies bilang bahwa reklamasi Teluk Jakarta akan membuat Jakarta terendam banjir. Ahok membantah semua yang disampaikan Anies.

Menurut Ahok, reklamasi Teluk Jakarta justru akan memiliki banyak keuntungan dan Jakarta tidak akan banjir. Contohnya ialah hampir 48 persen pulau reklamasi digunakan untuk kebutuhan fasos dan fasum DKI Jakarta.

Sebanyak 15 persen kontribusi dari hasil penjualan bangunan di pulau reklamasi itu akan diberikan kepada Pemprov DKI Jakarta. Bahkan, Ahok mengklaim, Pemprov DKI Jakarta akan mendapat Rp158 triliun dalam 10 tahun dari reklamasi Teluk Jakarta.

Oleh karena memiliki dampak positif secara ekonomis untuk Pemprov DKI, maka penyegelan itu sangat merugikan Pemprov DKI sendiri dan pengusaha penyuplai bahan material sekaligus tidak terciptanya lapangan pekerjaan.

Proyek reklamasi jelas tidak menimbulkan dampak negatif, justru malah menguntungkan warga Jakarta  yang tinggal di pesisir Utara Jakarta. Tingginya pertumbuhan penduduk di DKI Jakarta, tentu sangat membutuhkan lahan tambahan yang cukup luas, proyek reklamasi inilah salah satu solusinya.

Bahkan, para nelayan Muara Angke menyampaikan bahwa proyek reklamasi tidak berpengaruh buruk terhadap tangkapan ikan mereka. Pemda DKI Jakarta di era sebelum Ahok, pastilah sudah melakukan kajian mendalam yang melibatkan sejumlah pakar di bidang masing-masing, sebelum melakukan reklamasi Teluk Jakarta.

Dampak nyata dari distopnya reklamasi Teluk Jakarta ini ialah sejumlah perusahaan pengembang dan building material dipastikan menderita kerugian.

Sebenarnya, proyek reklamasi bukanlah hal yang dilarang karena hampir sebagian besar negara-negara lain di dunia juga melakukan reklamasi. Namun, reklamasi harus memenuhi tiga  unsur utama  yaitu kepentingan rakyat, kepentingan negara dan kepentingan bisnis.

Penghentian reklamasi Teluk Jakarta boleh-boleh saja dilakukan. Tapi, apakah dengan dihentikannya  proyek reklamasi, ‘kisruh’ di pantai utara ibu kota ini akan selesai? Lantas, mau dibawa kemana ‘kisah nyanyian laut’  Jakarta ini? Terus bagaimana kelanjutannya?

Keputusan untuk menyegel bangunan di Pulau D, tampaknya Anies terkesan terlalu tergesa-gesa dan tanpa pertimbangan matang. Dengan melakukan penyegelan, maka banyak ‘korban’ yang menderita kerugian, terutama dari sisi finansial.

Sekitar 47 perusahaan pengembang di proyek reklamasi, termasuk pengembang yang berada di Pulau D, mungkin akan terbengkalai sampai batas waktu yang tidak jelas. Belum lagi mandegnya transaksi sektor properti yang membawa ratusan produk seperti, pasir, semen, keramik, besi, material urukan, cat dan masih banyak produk sejenis lainnya. Ratusan SDM juga dipastikan nganggur tanpa ada kepastian.

Menyegel pulau reklamasi, khususnya Pulau D bukanlah pilihan cerdas. Mengapa? Persoalan  ini bukan hanya semata-mata bertumpu kepada masalah analisis dampak lingkungan dan mata pencarian para nelayan, tetapi juga bisa membuat laju pertumbuhan ekonomi Jakarta menjadi stagnan dan mungkin saja bisa berakibat buruk kepada kehidupan sosial masyarakat Jakarta.

Mantan Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Atmodarminto  pernah menyatakan bahwa reklamasi pantai utara Jakarta dipilih karena perluasan ke arah selatan Jakarta sudah tidak memungkinkan lagi. Rencana reklamasi seluas 2.700 hektar itu, telah dipaparkan dihadapan Presiden Soeharto tahun 1995 lalu. Kemudian disahkan melalui Keputusan Presiden Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta dan Perda Nomor 8 Tahun 1995.

Namun, keberadaan dua kebijakan ini, konon katanya, tumpang tindih dengan Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Jakarta 1985-2005. Namun, kalaupun kebijakan itu memang tumpang tindih, itu hanyalah persoalan yang bersifat regulatif. Padahal, persoalan dampak ekonomi lebih penting dalam sejumlah proyek reklamasi di Teluk Jakarta.

Oleh karena itu, patut ditelusuri lebih jauh, apakah motif penyegelan Pulau D Reklamasi tersebut hanya sebatas  karena IMB atau karena ‘dendam’ politik, memenuhi janji kampanye waktu itu? Jika karena IMB, kenapa harus sampai tiga kali?