Berdasarkan data Bank Dunia, biaya transportasi maksimum adalah 10 persen dari pendapatan per bulan. Sementara di Jabodetabek, masyarakat menengah kebawah rata-rata menghabiskan 43 persen.

Propertiterkini.com – Pengembangan kota baru Podomoro Golf View (PGV) merupakan salah satu cara yang dilakukan Agung Podomoro Land selaku pengembang untuk ikut mendukung pemerintah dalam mengatasi kemacetan. Untuk itulah di kawasan hunian terpadu PGV telah dibangun stasiun light rail transit (LRT), park and ride serta feeder untuk kendaraan umum bagi para penghuni dan masyarakat sekitar.

Baca Juga: 4.500 Apartemen Podomoro Golf View Diserahterimakan April 2019

“Dengan fasilitas yang ada, baik penghuni maupun masyarakat sekitar dapat memanfaatkannya sehingga bisa mengurangi penggunaan kendaraan pribadi,” ujar Assistant Vice President Podomoro Golf View, Alvin Andronicus dihadapan wartawan dalam diskusi publik bertajuk “Peran Kota Penyangga Sebagai Solusi Kemacetan Ibukota” di Marketing Lounge Podomoro Golf View, Cimanggis, Bogor, Kamis (14/3/2019).

Upaya lainnya, lanjut Alvin, menyediakan seluruh kebutuhan masyarakat mulai dari pendidikan, kesehatan, wisata, dan sebagainya, sehingga diharapkan bisa meminimalisir perjalanan penghuni dan masyarakat keluar dari kawasan PGV yang diperkirakan dihuni oleh sekitar 60 ribu jiwa. 

Baca Juga: Urai Kemacetan, Jalur Puncak Bogor Dilebarkan

Dalam kesempatan yang sama, pengamat tata kota yang juga dosen ilmu transportasi publik Universitas Trisakti, Yayat Supriatna mengemukakan, Pemerintah harus menyediakan sistem transportasi publik yang nyaman, aman, murah serta menjangkau lebih banyak tujuan masyarakat.

Yayat merujuk hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2014 yang menyebutkan bahwa 28 juta penduduk Jabodetabek yang berumur 5 tahun ke atas, sebanyak 13 persennya merupakan penduduk komuter.

Persentase tertinggi di Kota Depok (20 persen), Kota Bekasi (20 persen), dan Kota Tangerang Selatan (18 persen). Sementara persentase komuter terendah terdapat di Kabupaten Tangerang (6 persen). Untuk wilayah provinsi DKI Jakarta, persentase komuter tertinggi terdapat di wilayah Jakarta Pusat (15 persen).

Sedangkan berdasarkan data Bank Dunia, biaya transportasi maksimum adalah 10 persen dari pendapatan per bulan.

“Sementara di Jabodetabek, masyarakat menengah kebawah rata-rata menghabiskan 43 persen. Bandingkan dengan Cina yang hanya 7 persen, Singapura 3 persen dari pendapatan per bulan. Oleh karena itu, tak heran jika transportasi menjadi salah satu penyebab kemiskinan,” ujar Yayat.

Baca Juga: Permintaan Properti Online Meningkat, OLX Mantap dengan “Properti Baru”

Senada dengan Yayat Supriatna, Direktur Prasarana BPTJ Departemen Perhubungan, Heru Wisnu Wibowo menandaskan, Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek (BPTJ) telah mencatat bahwa total jumlah perjalanan orang di Jabodetabek pada tahun 2015 mencapai 47,5 juta orang per hari. Jumlah itu terdiri dari pergerakan dalam kota sebesar 23,42 juta, komuter 4,06 juta dan pergerakan lainnya yang melintasi Jabodetabek sebesar 20,02 juta orang per hari.

Apartemen Podomoro Golf View./ Foto: Padre – Propertiterkini

“Sesuai dengan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 55 Tahun 2018, penanganan transportasi Jabodetabek dituangkan dalam Rencana Induk Transportasi Jabodetabek (RITJ),” kata Heru.

Lebih jauh dia mengatakan, pembentukan lembaga BPTJ oleh Presiden Joko Widodo ditujukan untuk mengintegrasikan penyelenggaraan transportasi Jabodetabek.

Sasaran yang ingin dicapai dengan adanya BPTJ ini, lanjut Heru, agar tercipta sistem transportasi perkotaan yang terintegrasi di seluruh Jabodetabek dengan berbasis angkutan umum massal.

Baca Juga: Tahun Depan, Banyak yang Beralih ke Transportasi Massal Kereta

“Ini dilakukan agar pengguna kendaraan pribadi berkurang dan bisa menjadi solusi kemacetan. Indikator kinerja utama BPTJ adalah mengupayakan pergerakan orang dengan angkutan umum mencapai 60 persen dari total pergerakan orang,” imbuh Heru.

Secara gamblang Heru juga menuturkan, cakupan pelayanan angkutan umum sekitar 80 persen dari panjang jalan di perkotaan. “Setiap daerah harus punya feeder yang terintegrasi, serta fasilitas pejalan kaki dan park and ride dengan jarak perpindahan antarmoda sekitar 500 meter,” tegas Heru.

Oleh karena itulah Heru berharap, peran kota penyangga seperti PGV bisa mengakomodir pergerakan masyarakat. “Pergerakan masyarakat dapat diminimalisir dengan pengembangan kawasan yang berorientasi transit pada masing-masing kota penyangga seperti PGV ini,” jelasnya.

Baca Juga: Struktur Atas Dimulai, Cimanggis City Serah Terima Akhir 2019

Pada bagian akhir, Yayat menyampaikan bahwa sepuluh tahun lagi, Jakarta (Jabodetabek) akan menjadi kota megapolitan terbesar di dunia. Menggeser Tokyo, yang saat ini berpenduduk 35,3 juta. Menurut penelitian Euromonitor International, jumlah populasi Jabodetabek akan mencapai 35,6 juta orang pada tahun 2030.