Lebih dari 90% developer di Sumsel adalah pengembang MBR dengan kontribusi yang sangat besar. Sayangnya, kenaikan harga rumah hanya 5% per tahun. Bukan tidak mungkin beberapa tahun ke depan mereka akan meninggalkan rumah MBR tersebut.
Propertiterkini.com – Dalam tiga tahun terakhir, pertumbuhan properti di Sumatera Selatan (Sumsel) mengalami lonjakan yang sangat luar biasa. Ini dibuktikan dengan realisasi KPR, dimana pada tahun 2015 sebanyak 4.700 unit. Kemudian tahun 2016 menjadi 8.000 unit dan meningkat signifikan di 2017 lalu sebanyak 11.000 unit.
Baca Juga:
Sementara sepanjang semester pertama 2018, khusus untuk REI Sumsel, realisasi KPR sudah mencapai 5.300 unit. Padahal, program KPR baru mulai dilaksanakan pada awal Maret lalu.
“Target saya tahun ini 12.000 unit. Kalau 2017 lalu target 10.000 ternyata lebih 1.000 menjadi 11.000 unit. Saya optimis akan tercapai target tersebut,” ujar Ketua DPD Realestat Indonesia (REI) Sumsel, Bagus Pranajaya Salam.
Berikut penuturan lengkap Ketua REI Sumsel dalam wawancara khusus di ruangan kerjanya, Palembang, beberapa waktu lalu:
Apa sesungguhnya yang menyebabkan tingginya pertumbuhan realisasi KPR di Sumsel ini?
Perlu saya jelaskan bahwa, dari semua data tadi, 91-92% adalah realisasi untuk rumah MBR, sisanya rumah komersil. Sebanyak 60-65% masih di Kota Palembang, jadi Palembang masih punya kontribusi yang terbesar dari total realisasi KPR yang ada. Kedua Kabupaten Banyuasin yang berada di bibirnya Kota Palembang. Kemudian baru di kabupaten lainnya.
Kami sangat optimis, target tahun ini akan tercapai karena banyak stimulan yang diberikan. Seperti bantuan suku bunga, kemudian dibebaskan dari asuransi, dibantu lagi pemerintah melalui SBUM (Subsidi Bantuan Uang Muka) Rp4 juta.
Tapi persoalan yang paling krusial bagi mereka, yaitu proses untuk BPHTB domain pajak. Karena BPHTB ini kami hanya wajib pungut, sementara mereka harus bayar Rp3,5 juta. Maka kita dorong dengan Pemkot Palembang dan ternyata diterima dengan baik. Sehingga sekarang cukup bayar Rp1,5 juta.
Hanya bayar Rp1,5 juta? Maksudnya?
Jadi kami juga mengusulkan kepada Walikota Palembang supaya Pemkot juga memberikan stimulan kepada konsumen biar euforia pembelian rumah tetap baik.
Waktu itu kami usulkan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) yang harusnya harga jualnya kurang Rp60 juta kali 5%, kami usulkan menjadi harga jual kurang Rp100 juta kali 5%. Jadi yang seharusnya setiap end user atau debitur beli rumah bayar Rp3,5 juta, saat ini cukup membayar Rp1,5 juta.
Baca Juga:
Ini juga salah satu bentuk bahwa kami dan Pemkot bisa mengangkat penjualan menjadi lebih baik. Dan ini juga berlaku untuk rumah komersial, walaupun kontribusinya tidak sebesar rumah MBR. Tapi setiap transaksi yang dilakukan di Kota Palembang, pasti dibantu oleh Pemkot sebesar Rp2 juta. Sekarang, NPOP (Nilai Pokok Objek Pajak) kita naikkan jadi Rp100 juta. Dan ini satu-satunya yang ada di Indonesia. Bahkan sudah mendapatkan penghargaan dari Kementerian PUPR atas sebuah terobosan yang luar biasa ini.
Apakah program ini juga akan berlaku untuk seluruh Sumsel?
Saya sudah sampaikan ke gubernur terpilih supaya program ini juga bisa jalan di seluruh Kabupaten di Sumsel. Karena ini baru hanya di Kota Palembang. Dari backlog perumahan yang dirilis PUPR sampai tahun lalu 350.000 untuk Sumsel, artinya potensinya masih sangat besar.
Berapa sebenarnya anggota REI Sumsel?
Saat ini ada 300 anggota aktif, kalau termasuk pasif sampai 400 lebih. Lebih dari 90% saat ini membangun rumah subsidi. Karena memang kita harus masuk ke situ. Pasarnya masih sangat luas.
Saat ini LRT Palembang lebih berfungsi sebagai transportasi wisata./ Foto: Padre – Propertiterkini.com
Di mana rata-rata penyebaran rumah subsidi tersebut?
Banyak di daerah Barangan, Gandus, Sako, Borang. Kami juga sudah mengajukan pembangunan infrastruktur supaya kita bisa buat kota-kota baru. Harga rumah FLPP untuk wilayah sini Rp130 juta per unit.
Baca Juga:
Ada empat wilayah, seperti Gandus, Barangan, Sako dan daerah Talang Betutu yang paling banyak memberikan realisasi KPR. Intinya semuanya bagus, apalagi saat ini ada transportasi LRT sehingga Seberang Hulu juga sudah semakin bagus.
Lebih dari 90% pengembang bangun rumah subsidi, apakah keuntungannya juga cukup baik bagi para pengembang tersebut?
Kalau mau jujur, sebenarnya pemerintah tidak berpihak sama kami, pengembang MBR. Pemerintah terlampau berpihak kepada end user atau debitur, atau masyarakat. Contoh, mereka dikasih suku bunga yang harusnya suku bunga komersial 12% dikasih 5%. Kemudian pemerintah berikan subsidi bantuan uang muka dan banyak lagi stimulan lain.
Sementara kami sendiri, hanya dibolehkan naik dari tahun 2013-2018 sebesar 25% atau 5% setiap tahunnya. Sebelumnya Rp116 juta kemudian tahun 2017-2018 menjadi Rp123 juta dan saat ini menjadi Rp130 juta.
Ini tentunya tidak sebanding dengan permasalahan yang kami hadapi di daerah. Padahal kenaikan bahan baku, utamanya tanah setiap tahun antara 15-25%. Belum lagi ada kenaikan harga material yang mungkin sudah di atas 10-15% setiap tahun. Jadi selama lima tahun berturut-turut hanya boleh naik Batasan 5%. Kalau kami melampaui harga tersebut artinya kami harus bayar PPN 10%.
Harusnya pemerintah juga berikan stimulan kepada para pengembang MBR juga punya kontribusi kepada negara. Kalau seandainya pemerintah tetap menaikkan 5% pada 2019, bukan tidak mungkin bahwa sampai 3 tahun bisnis rumah subsidi akan ditinggalkan.
Pemerintah berikan beban yang cukup berat kepada kami, termasuk pengembang MBR ini untuk mensukseskan Program Satu Juta Rumah. Padahal sekitar separuh dari target pembangunan perumahan nasional ada di REI. Kalau menurut maunya hati, kami sih pengen bangunnya rumah komersil dimana untungnya lebih besar dan kami bisa mengatur semua ritme-ritme. Tapi kebetulan saat ini pasar terbesarnya di MBR, ya kita semua bermain di sini.
Jadi berapa persisnya kenaikan harga tanah tersebut?
Tahun 2013 tanah masih sekitar Rp70.000, sekarang, untuk rumah MBR di Sumsel minimal sudah di atas Rp150.000, itupun di pinggiran. Artinya ada kenaikan 100% pada sektor tanah. Sedangkan kami hanya naik 25% selama lima tahun terakhir. Belum lagi tahun 2018 pemerintah keluarkan satu kebijakan yang betul-betul tidak berpihak kepada kami, dimana harus memakai besi 10 mm, kemudian soal plafon dan lain-lain. Jadi cukup berat.
Baca Juga:
Untung sih memang ada untung, tetapi kan harusnya kita membuat growth. Untung tahun ini Rp10 juta, besoknya belum tentu Rp10 juta, bahkan mungkin turun. Maka itu kita buat terobosan, minta kemudahan pada Pemkot, Pemkab, dan Pemprov agar dimudahkan perizinan, agar tidak timbul high cost. Padahal peran pengembang MBR adalah membantu program pemerintah agar masyarakat yang belum punya rumah bisa punya rumah.
Apakah semua pengembang MBR di daerah punya persoalan yang sama?
Pengembang MBR atau rumah subsidi di daerah termasuk Sumsel dan pengembang di Pulau Jawa sangat berbanding terbalik. Kalau di Palembang atau sekitarnya dia butuh areal luas satu kavling rata-rata 90 meter persegi per kapling. Berbeda dengan di Pulau Jawa yang hanya 6×10 atau 60 meter persegi.
Korelasinya ke jumlah unit yang akan dibangun. Kalau dalam 1 hektar di Palembang atau Sumsel hanya bisa dapatkan 60-65 unit per 1 hektar per kapling, sementara di Pulau Jawa bisa 100 unit, kalau koofisiennya 40%. Jadi 6.000 meter persegi dia bisa full rumah 100 unit, 40% untuk fasum dan fasos. Dan dengan harga yang sedikit berbeda.
Saya lihat yang di Cikarang, harganya juga tidak begitu jauh dengan di Sumatera. Masih Rp150-200 juta. Berbahagialah kawan-kawan yang bangun di Pulau Jawa. Kalau di sini kami bangun 6×10, jangan harap. Disenggol orang pun tidak, boro-boro beli. Di sini masih bermain di 90 meter persegi, bahkan ada yang 96 meter persegi.
Bagaimana dengan daya beli atau minat konsumen properti di Sumsel?
Masih cukup bagus. Kita mulai akad pertama di awal Maret lalu. Sampai di semester pertama sudah 5.300 unit. Artinya demand ini masih bagus sekali. Sehingga memang benar bahwa backlog yang dirilis PUPera Sumsel 350.000 itu benar. Jadi saat ini ‘terpaksa’ kita (pengembang MBR) harus bangun dengan untungnya yang semakin menurun.
Acuannya hanya naik 5%, padahal bahan baku naik, material naik, gaji karyawan saja naik setiap tahun 10%. Kalau ini ditinggalkan, maka pemerintah tidak punya partner untuk mensukseskan program ini, karena pemerintah sendiri tidak melakukan ini.
Pertumbuhan kota akan mengarah ke hunian vertikal. Apakah bisa rumah murah MBR tersebut dikonversi ke rumah vertikal, semacam apartemen murah?
Sudah saya sampaikan juga kepada teman-teman, tetapi harus kita akui secara jujur kalau highrise itu lebih ke lifestyle. Sehingga untuk di Palembang saat ini belum. Buktinya ada beberapa kawan-kawan yang bangun apartemen dan ternyata belum begitu sukses.
Rusanami Wisma Atlet di Jakabaring Sport City, Palembang./ Foto: Padre – Propertiterkini.com
Bagaimana dengan infrastruktur untuk mensuport properti di Sumsel ini?
Rata-rata kawan-kawan yang bangun perumahan MBR biasanya dibantu pemerintah untuk fasilitas prasarana, sarana dan utilitas (PSU). Harapan kami juga adanya pengembangan KEK yang nantinya akan mensuport properti. Kami terus dorong supaya menjadi kota baru. Di daerah Tanjung Api-Api (Tanjung Carat) ada 2.000 hektar.
Dari Asian Games ini pun ada dua lokasi jembatan yang dibuat oleh Pemprov kolaborasi Pemkot, yakni Musi 3 dan Musi 4. Dengan dibukanya jalur tersebut, maka akan tumbuh kawasan hunian di wilayah sana. Tetapi memang saat ini belum dibuka sehingga kami antusias menanti ini.
Baca Juga:
Kalau di Jakabaring, karena euforianya sangat tinggi, maka bahan baku tanahnya juga sudah naik tinggi. Tapi jelas, impact dari Asian Games ini sangat bagus sekali, ada LRT, jembatan dan lainnya. Perumnas juga lagi jor-joran bangun, kami ikuti mereka.
Selain Lippo, Ciputra, adalah pengembang nasional lain yang masuk ke Sumsel?
Sinar Mas Land sudah ketemu saya. Mereka akan bangun di samping Ciputra seluas 200 hektar. Mungkin tahun ini mereka akan jalan. Agung Sedayu juga sudah hubungi saya.
Kalau pak Bagus sendiri, proyek apa saja yang dikembangkan di sini?
Saya tetap bangun rumah komersil ada juga MBR subsidi. Saya punya dua proyek komersil dan dua subsidi.
Bagaimana highrise dengan 3 proyek mangkrak di sini?
Saya tidak bilang mangkrak tapi lamban. Ada beberapa yang dibangun oleh pengembang lokal semua. Ada 1 kondisi fisik 50%, 1 sudah 30% dan 1 lagi baru sekitar 15%. Sehingga di sini sebenarnya lebih bagus yang bangun adalah pengusaha berskala nasional biar bisa tumbuh. Bank pasti akan kasih KPA apalagi pengusaha nasional. Pasar pasti ada, hanya kepercayaan masyarakat kota belum melihat ada yang benar-benar serius membangun apartemen tersebut. [Wawancara Pius Klobor dengan Ketua REI Sumsel di Palembang, Rabu, (12/9/2018)]
9 comments
Melirik Palembang yang Menggoda dengan Bisnis Kos-Kosan | Properti Terkini
[…] […]
Properti Palembang Bagai Gadis Seksi yang Kian Menggoda | Properti Terkini
[…] […]
CitraGrand City Palembang, Kota Terpadu Pertama di Sunrise Property | Properti Terkini
[…] […]
Azalea Garden, Rumah Subsidi 2 Lantai Pertama di Indonesia | Properti Terkini
[…] […]
Permintaan Rumah MBR di Palembang Naik 25 Persen | Properti Terkini
[…] Baca Juga: REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung […]
Dari Andalas, PT AWI Garap Properti di Tangerang | Properti Terkini
[…] Baca Juga: REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung […]
Perumahan di Sumsel Tumbuh Pesat, Perbankan Intens Salurkan Kredit | Properti Terkini
[…] Baca Juga: REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung […]
Kelebihan dan Kekurangan Rumah Subsidi | Properti Terkini
[…] Baca Juga: REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung […]
WAWANCARA: BNI Sumsel Agresif Menyasar Sektor Perumahan | Properti Terkini
[…] Baca Juga: REI Sumsel: Pengembang MBR Masih Bertahan, Meski Untung Kian Buntung […]