Tuan Ma diberi gelar tertinggi sebagai raja orang Larantuka. Oleh karenanya, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha atau Kota Ratu, Kota Maria.
Hari Raya Paskah merupakan hari besar dalam ajaran Kristiani, mengenang kembali kisah sengsara dan kembangkitan Kristus (Isa Al-Masih). Beberapa daerah punya tradisi unik untuk merayakannya dan menjadi daya tarik wisata, bahkan bagi dunia. Sebagaimana di Larantuka, Ibukota Flores Timur, NTT, yang merayakan prosesi Semana Santa, sebuah tradisi perayaan Pekan Suci Paskah yang telah berusia lebih dari 5 abad.
Semana Santa yang terus dilestarikan prosesinya oleh umat Katolik di Larantuka merupakan warisan dari bangsa Portugis. Setiap tahunnya, jelang Paskah masyarakat selalu disibukkan dengan kembali menggelar prosesi yang kini menjadi bagian penting dalam perayaan umat Katolik Larantuka itu. Maka tidaklah heran, setiap jelang Semana Santa, Kota Larantuka akan penuh sesak oleh banyaknya peziarah maupun wisatawan dari berbagai daerah, termasuk mancanegara.
Tuan Ma
Salah satu bagian penting dari prosesi Semana Santa adalah dengan mengarak patung Tuan Ma. Kepercayaan orang Larantuka terhadap Tuan Ma atau Patung Reinha (Bunda Maria), berawal lima abad silam. Kepercayaan itu terus dituturkan turun temurun dan selalu dikenang hingga saat ini.
Berdasarkan penelitian dan sejumlah sumber tertulis dalam bahasa Belanda dan Portugis, patung Tuan Ma ditemukan sekitar tahun 1510 di Pantai Larantuka. Diduga, patung itu terdampar saat kapal Portugis atau Spanyol karam di Larantuka.
Konon, saat itu seorang anak laki-laki bernama Resiona menemukan patung berwujud perempuan saat mencari siput di Pantai Larantuka.

Resiona mengaku, kala itu dia melihat perempuan cantik dan, ketika ditanya nama serta dari mana datangnya, perempuan tersebut hanya menunduk lalu menulis tiga kata yang tak dipahami Resiona di pasir pantai. Setelah itu, ketika mengangkat mukanya, rupa wanita itu berubah menjadi patung kayu.
Ketiga kata yang ditulis itu lalu dibuatkan pagar batu agar tidak terhapus air laut, sedangkan patung setinggi tiga meter tersebut langsung diarak keliling kampung, memasuki korke, rumah-rumah pemujaan milik setiap suku di sana.
Kendati waktu itu masyarakat setempat belum mengenal patung tersebut, kepala kampung Lewonama, Larantuka, memerintahkan agar patung disimpan di korke. Patung kemudian dihormati sebagai benda keramat. Penduduk memberi sesaji setiap perayaan panen.
Masyarakat sekitar Larantuka menyebut patung itu sebagai Tuan Ma. Secara harfiah, Tuan Ma berarti tuan dan mama. Masyarakat Lamaholot menyebutnya, Rera Wulan Tanah Ekan, Dewa Langit dan Dewi Bumi.
Menurut Raja Larantuka Don Andreas Martinho DVG, sekitar tahun 1510 itu masyarakat Larantuka sudah melakukan devosi kepada Tuan Ma setiap Februari, sebagai syukur atas hasil panen dan tangkapan dari laut.
Devosi merupakan kegiatan di luar liturgi gereja, praktik-praktik rohani yang merupakan ekspresi konkret keinginan melayani dan menyembah Tuhan melalui obyek-obyek tertentu.
Ketika padri dari Ordo Dominikan datang ke kampung itu lalu diminta membaca tiga kata yang ”diabadikan” itu, terbaca: Reinha Rosario Maria.
Ketika melihat patungnya, padri itu terharu dan berkata bahwa itulah Reinha Rosari yang dikenal juga sebagai patung Mater Dolorosa atau Bunda Kedukaan atau Mater Misericordia.
Sekitar tahun 1561, penyebaran agama Katolik oleh Portugis dimulai di Pulau Solor, yang kemudian dikenal misi Solor dengan menetapnya tiga misionaris, yaitu Pater Antonio da Cruz OP, Simao das Chagas OP, dan Bruder Alexio OP, di sana.

Tahun 1617, misionaris Portugis Pastor Manuel de Kagas berhasil memberi masukan pemahaman kepada raja-raja Larantuka. Dia menjelaskan, “Tuan Ma yang disembah itu sebenarnya bernama Bunda Maria. Dia yang memiliki putra yang disebut Yesus Kristus. Yesus ini sebagai penebus dosa dan pembawa keselamatan”.
Sejak itulah orang Larantuka yakin apa yang mereka sembah selama itu ternyata diakui secara universal.
Tahun 1650, Raja I Larantuka Ola Adobala dibaptis dan menyerahkan Kerajaan Larantuka kepada Bunda Maria. Setelah itu, putranya, Raja Don Gaspar I, pada 1665 mulai mengarak patung Maria keliling Larantuka.
Dalam perkembangannya, Raja Don Lorenzo I bersumpah kepada Maria atau Tuan Ma dengan memberi gelar tertinggi kepada Maria sebagai raja orang Larantuka.
Oleh karena itu, Larantuka disebut sebagai Kota Reinha (bahasa Portugis) atau Kota Ratu, Kota Maria. Tuan Ma kemudian diyakini sebagai Bunda Maria milik orang Larantuka. Devosi kepada Maria menjadi sentral hidup keluarga dan masyarakat Larantuka.
Per Mariam ad Jesum, melalui Maria kita sampai kepada Yesus.
Proses inkulturasi pun terjadi antara kepercayaan masyarakat lokal, ajaran gereja, dan tradisi yang dibawa Portugis.
2 comments
Papi
Memang mesti hadir langsung ke Larantuka untuk mengetahui detail satu demi satu semua proses sebelum dan setelah itu. Semua warga Larantuka terlibat aktif, tidak hanya Katolik, bahkan dari luar Katolik pun ikut terlibat mensukseskan acara besar ‘hari bae’ ini.
Salib Utuh hingga Mahkota Duri Diselamatkan, Berikut 14 Fakta Katedral Notre Dame | Properti Terkini
[…] Baca Juga: Semana Santa, Tradisi Unik Merayakan Paskah di Kota Larantuka […]