Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI), Eddy Ganefo mengakui bahwa bisnis properti rawan suap. Untuk itu, saran dia, pengembang harus lebih menahan diri dan dan bersabar mengikuti prosedur yang sebenarnya, meski waktunya sedikit lebih lama.
Propertiterkini.com – Belakangan publik dikejutkan dengan ditangkapnya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kasus suap perizinan mega proyek Meikarta di Cikarang, Bekasi, Jawa Barat.
Neneng tentu tidak sendiri, kasus ini ternyata juga menyeret Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro serta Kepala Dinas PUPR Pemkab Bekasi, Jamaludi.
Baca Juga: OTT KPK Terkait Izin Proyek Meikarta?
Sebenarnya kasus suap yang melibatkan pengusaha properti bukan lah yang pertama kali terjadi, sebelumnya ada banyak kasus yang menimpa banyak pengembang. Hal ini kemudian memunculkan banyak pertanyaan di kalangan publik apakah bisnis properti rawan suap?
Menurut Ketua Dewan Pembina Asosiasi Pengembang Perumahan dan Permukiman Seluruh Indonesia (APERSI) Eddy Ganefo, bisnis properti rawan suap. Hal ini disebabkan karena adanya peluang yang terjadi di lapangan.
“Baik dari pemerintah dan pengembang sama-sama saling memanfaatkan, bagi pemberi izin mereka kerap memanfaatkan posisi dengan mempersulit pembuatan perizinan sementara dari pihak pengembang mereka ingin agar masalah perizinan cepat selesai agar proses pembangunan cepat berlangsung,” kata Eddy.
Eddy mengatakan, sebenarnya dalam aturannya, waktu untuk membuat perizinan tidaklah lama. Ia mengambil contoh untuk pembuat perizinan IMB, waktunya dibutuhkan hanya satu bulan. Namun jika tidak ada uang tambahan, bisa-bisa proses pembuatannya akan memakan waktu hingga satu tahun.
“Kondisi ini lah yang terkadang akhirnya membuat pengembang harus mengeluarkan biaya khusus untuk menyuap pihak-pihak tertentu agar proyek mereka bisa tetap berjalan,” kata Eddy.
Untuk ini Eddy menyarankan agar pengembang harus bisa menahan diri dan lebih sabar. Meski waktunya mungkin lebih lama, namun harus bisa hindari ‘jalur khusus’ yang justru akan menjerumuskannya ke persoalan hukum.
“Ke depannya kami berharap agar pihak pemerintah dan pengusaha properti menghilangkan mental curang agar industri properti bisa berjalan dengan lancar,” tambah Eddy.
Baca Juga: Penyegelan Pulau D Reklamasi Teluk Jakarta, Anies Salah Langkah?
Berbicara mengenai kasus suap yang menimpa pengembang, berikut ini adalah beberapa contoh kasus korupsi yang setidaknya membenarkan bahwa, bisnis properti rawan suap:
Lippo Group
Ini merupakan kasus terbaru yang lagi-lagi membuktikan bahwa bisnis properti rawan suap. OTT oleh KPK terjadi pada Minggu (14/10/2018) lalu, dimana Direktur Operasional Lippo Group Billy Sindoro, terjerat kasus suap perizinan proyek kota mandiri Meikarta. Kasus ini disinyalir merugikan negara sebesar Rp7 miliar.
Kasus ini pun turut menyeret pejabat pemerintahan daerah, diantaranya Bupati Bekasi Neneng Hasanah Yasin. Meikarta sendiri merupakan sebuah kota mandiri yang di dalamnya terdapat beragam proyek properti seperti apartemen, ruko, mall, perkantoran. Apartemen Meikarta dijual mulai dari Rp127 juta.
Agung Podomoro Land
Tahun 2016 lalu, bos PT Agung Podomoro Land, Ariesman Widjaja terjerat kasus suap pembangunan proyek reklamasi pantai utara Jakarta. Ariesman Widjaja divonis 3 tahun penjara karena terbukti menyuap anggota DPRD DKI Jakarta, saat itu, Mohamad Sanusi.
Suap tersebut sengaja diberikan ke Sanusi untuk membantu mempercepat pembahasan dan pengesahan Raperda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Ciputra Group
Setahun sebelumnya lagi, yakni pada 2015, Direktur PT Ciputra Optima Mitra Rudiyanto terseret kasus tukar guling tanah yang melibatkan Walikota Tegal Ikmal Jaya. Anak usaha dari Ciputra Group ini dinilai merugikan negara senilai Rp35 miliar.